Erupsi Gunung Semeru: Fenomena Alam yang Terus Menguji Warga Lumajang
![]() |
Gunung Semeru |
Sejarah Letusan Gunung Semeru
Gunung Semeru tercatat telah mengalami erupsi berkali-kali
sejak abad ke-19. Berdasarkan catatan vulkanologi, letusan gunung ini bersifat vulkanian
dan strombolian, dengan ciri utama letusan abu vulkanik, lontaran batu
pijar, hingga awan panas guguran. Pada masa lampau, erupsi Semeru jarang
terdokumentasi secara detail, tetapi mulai tahun 1941 hingga sekarang,
aktivitasnya rutin dipantau oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi
(PVMBG).
Erupsi terbesar yang tercatat terjadi pada Desember 2021.
Saat itu, letusan dahsyat disertai luncuran awan panas guguran menewaskan
puluhan warga, melukai ratusan orang, dan memaksa ribuan penduduk di sekitar
lereng gunung untuk mengungsi. Material vulkanik yang dimuntahkan juga
menyebabkan kerusakan parah pada infrastruktur, lahan pertanian, serta jembatan
penghubung antar desa.
![]() |
Gunung Semeru |
Penyebab Erupsi Gunung Semeru
Seperti gunung api lainnya, erupsi Gunung Semeru dipicu
oleh akumulasi tekanan gas dan magma di dalam perut bumi. Magma yang
terbentuk dari material batuan cair di dalam dapur magma, secara perlahan naik
menuju permukaan akibat tekanan tinggi. Ketika tekanan gas tidak mampu lagi
ditahan oleh batuan di atasnya, maka terjadi letusan yang melepaskan abu
vulkanik, gas beracun, serta material pijar.
Gunung Semeru memiliki karakteristik letusan eksplosif yang
disertai awan panas guguran. Proses ini umumnya terjadi akibat runtuhnya kubah
lava yang terbentuk di kawah Jonggring Saloko, kawah aktif Gunung Semeru. Saat
kubah lava tak stabil, longsoran material pijar ini meluncur cepat menuruni
lereng, membawa abu, pasir, dan batu ke wilayah permukiman.
Dampak Erupsi Terhadap Masyarakat dan Lingkungan
Erupsi Gunung Semeru tak hanya menyebabkan kerugian
material, tetapi juga menyisakan trauma psikologis mendalam bagi warga sekitar.
Pada letusan Desember 2021, beberapa desa seperti Curah Kobokan, Supiturang,
Sumberwuluh, dan Oro-oro Ombo di Kecamatan Pronojiwo dan Candipuro menjadi
kawasan paling terdampak.
Awan panas guguran yang meluncur dengan kecepatan tinggi
mampu membakar rumah, pepohonan, serta lahan pertanian dalam waktu singkat.
Selain itu, abu vulkanik yang menyelimuti area sekitar menyebabkan gangguan
pernapasan, iritasi mata, hingga pencemaran air bersih.
Sementara di sektor lingkungan, erupsi Semeru berdampak pada
perubahan morfologi gunung dan sedimentasi di aliran sungai. Endapan material
vulkanik di sungai-sungai seperti Kali Kobokan meningkatkan potensi
banjir lahar hujan saat musim penghujan tiba. Akibatnya, wilayah pemukiman yang
berada di bantaran sungai menjadi lebih rentan.
Tanggap Darurat dan Upaya Mitigasi
Setiap kali terjadi erupsi, pemerintah daerah bersama Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan relawan kemanusiaan segera melakukan
evakuasi dan pendirian posko pengungsian. Bantuan logistik, medis, serta
kebutuhan dasar bagi pengungsi diprioritaskan. Masyarakat sekitar gunung pun
rutin menerima sosialisasi tentang jalur evakuasi, cara mengenali tanda-tanda
erupsi, serta langkah-langkah penyelamatan diri.
PVMBG terus memantau aktivitas Gunung Semeru menggunakan
peralatan seismograf, CCTV pemantau kawah, dan pemetaan daerah rawan bencana.
Setiap peningkatan aktivitas vulkanik, PVMBG akan mengeluarkan status gunung
api mulai dari Normal (Level I), Waspada (Level II), Siaga
(Level III) hingga Awas (Level IV).
Masyarakat juga dihimbau untuk selalu mematuhi rekomendasi
pemerintah, terutama tidak beraktivitas di radius 5-13 kilometer dari puncak
kawah, tergantung level status gunung.
Aktivitas Gunung Semeru Saat Ini
Hingga tahun 2025 ini, Gunung Semeru masih menunjukkan
aktivitas vulkanik yang fluktuatif. Erupsi kecil berupa letusan abu
setinggi 500-1.000 meter kerap terjadi setiap beberapa hari sekali. PVMBG
menetapkan status Siaga (Level III) sejak Desember 2021 dan belum
diturunkan, mengingat masih seringnya terjadi guguran lava pijar dan awan panas
guguran.
Beberapa jalur pendakian, seperti jalur menuju Mahameru
dan Ranu Kumbolo, ditutup demi keselamatan pendaki. Hanya kawasan
sekitar Ranu Pani yang diperbolehkan untuk wisata terbatas. Pemerintah juga
terus membangun hunian sementara dan relokasi permanen bagi warga terdampak.
Mitos dan Kepercayaan Masyarakat Sekitar
Gunung Semeru memiliki nilai spiritual kuat bagi masyarakat
Jawa, khususnya di wilayah Lumajang dan Malang. Dalam kepercayaan masyarakat
Hindu Jawa kuno, Semeru dipercaya sebagai gunung suci tempat bersemayam para
dewa. Cerita turun-temurun menyebutkan bahwa Gunung Semeru adalah penyangga
Pulau Jawa agar tetap seimbang.
Hingga kini, beberapa ritual adat masih dijalankan di
sekitar lereng Semeru, seperti Larung Sesaji dan Upacara Bersih Desa,
sebagai bentuk penghormatan kepada alam sekaligus permohonan keselamatan.
Kesimpulan
Erupsi Gunung Semeru menjadi pengingat nyata bahwa manusia
hidup berdampingan dengan kekuatan alam yang tak bisa sepenuhnya dikendalikan.
Meski menyisakan duka dan kerugian, peristiwa ini sekaligus memperkuat
solidaritas masyarakat, meningkatkan kesadaran mitigasi bencana, serta
memperkaya tradisi budaya yang berakar pada alam.
Pemerintah, relawan, dan masyarakat harus terus bersinergi
dalam upaya pengurangan risiko bencana. Edukasi, penataan kawasan rawan
bencana, serta kesiapsiagaan warga menjadi kunci agar ketika erupsi terjadi,
korban jiwa dan kerugian dapat diminimalkan.
Gunung Semeru akan tetap berdiri kokoh sebagai simbol
kekuatan alam Jawa Timur. Dengan kewaspadaan dan kebijaksanaan, ancaman letusan
bisa dihadapi lebih siap, tanpa mengabaikan nilai-nilai tradisi dan kelestarian
alam.